Tuesday, October 20, 2015

Pendapatan Pas-pasan, Apa Boleh Berinvestasi di Reksa Dana ? THINKSTOCK Ilustrasi

KOMPAS.com - Saat ini, semakin banyak masyarakat yang tertarik pada investasi reksa dana. Namun, sebagian dari mereka mungkin baru memulai kerja / usaha sehingga pendapatannya belum seberapa. Pertanyaannya, jika pendapatan masih pas-pasan, apakah boleh berinvestasi di reksa dana ?

Besar kecilnya pendapatan setiap bulan tidak menjadi syarat untuk berinvestasi di reksa dana. Sepanjang memiliki KTP dan tabungan di bank, dan modal investasi Rp 100.000 anda sudah bisa menjadi investor.

Iya, anda tidak salah baca. Sejak program reksa dana mikro diperkenalkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2014, minimum untuk berinvestasi di reksa dana adalah Rp 100.000. Seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak manajer investasi dan agen penjual yang menerapkan kebijakan tersebut.

Dengan syarat demikian, untuk menjadi investor memang tidak sulit. Cukup datang dengan dokumen lengkap ke kantor cabang manajer investasi dan agen penjual terdekat proses pembukaan rekening bisa segara dimulai. 

Dengan adanya layanan reksa dana online dan supermarket reksa dana, keberadaan kantor cabang secara fisik juga sudah tidak menjadi kendala. Cukup dengan mengakses via situs perusahaan, masyarakat dapat membuka rekening reksa dana secara online dan memilih reksa dana dari puluhan perusahaan sekaligus.

Kemudahan-kemudahan tersebut memang membuat proses menjadi investor semakin mudah. Namun, di satu sisi perlu disadari bahwa mudahnya syarat untuk menjadi investor reksa dana tidak menjadikan investasi reksa dana ini mudah.

Membeli reksa dana berarti melakukan investasi. Namanya investasi pasti selalu ada yang namanya risiko. Dalam bahasa yang lebih sederhana, risiko berarti mengalami penurunan nilai dibandingkan modal awal investasi. 

Penurunan tersebut bisa berupa penurunan di atas kertas atau kerugian yang belum terealisasi jika anda tidak panik menjualnya ketika risiko itu terjadi. Selama belum terealisasi, maka dalam jangka panjang ada kemungkinan harganya akan kembali naik dan kondisi investor bisa berbalik dari rugi menjadi untung.

Namun ketika risiko terjadi dan investor buru-buru menjualnya atau dikatakan melakukan cutloss, maka kemungkinan untuk berbalik sudah tidak ada. Kerugian yang tadinya masih di atas kertas akan berubah menjadi kerugian terealisasi. Tidak hanya itu, tujuan keuangan yang tadinya mau dicapai melalui reksa dana juga tidak terwujud.

Jadi, bagi calon investor dengan pendapatan pas-pasan pertanyaan yang lebih tepat bukanlah boleh atau tidak menjadi investor, tapi apakah yang bersangkutan sudah siap menghadapi risiko tersebut?

Siap atau tidak siap saat menghadapi risiko menurut saya sangat tergantung pada 2 hal. Pemahaman terhadap investasi dan kesehatan finansial.

Semakin paham terhadap investasi dan semakin sehat finansial seseorang kondisi keuangan seseorang, maka investor akan semakin siap dalam menghadapi risiko dan sebaliknya.

Pemahaman terhadap investasi dapat ditingkatkan melalui belajar. Saat ini sudah banyak tersedia buku-buku tentang investasi. Masyarakat juga bisa belajar melalui berbagai situs internet. 

Dengan memahami risiko dan berorientasi jangka panjang, maka penurunan dalam jangka pendek sudah bukan menjadi masalah besar. Toh uangnya baru dibutuhkan sekian tahun lagi. Bahkan penurunan bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk berinvestasi di harga yang lebih rendah.

Sumber-sumber tersebut memang ada yang berbayar, tapi banyak juga yang gratis. Contohnya situs kompas.com yang anda baca sekarang ini. Dengan teknologi informasi yang semakin berkembang, memahami reksa dana bukan lagi persoalan mampu atau tidak mampu, tapi mau atau tidak mau. Nah, yang agak jadi masalah adalah faktor kesehatan finansial.

Dalam kesehatan finansial, salah satu rasio yang sangat penting yaitu dana darurat. Dimana seseorang sebaiknya memiliki dana darurat antara 3 – 12 pengeluaran bulanannya. Tentu hal ini sangat berat bagi calon investor yang pendapatannya masih pas-pasan

Jumlah uangnya tentu tidak cukup jika harus dibagi antara dana darurat dan investasi. Belum lagi kebutuhan akan perlindungan asuransi jiwa apabila yang bersangkutan menjadi tulang punggung keluarga.

Untuk itu, menurut saya investasi reksa dana tidak perlu terlalu dipaksakan. Malah akan lebih baik jika dana / tabungan yang ada diinvestasi pada pengembangan diri seperti kursus, kuliah lanjutan, mempelajari keahlian atau buka usaha yang nantinya akan memperbesar potensi pendapatan. Ketika kondisi pendapatannya sudah lebih baik, investasi reksa dana baru mulai dilakukan.

Bagi yang tidak memiliki tanggungan alias masih menumpang bersama keluarga, investasi reksa dana memang bisa dipertimbangkan. Namun yang lebih penting adalah tetap fokus pada pengembangan diri sehingga pendapatan yang tadinya pas-pasan berubah menjadi pas butuh pas ada. Ketika itu, baru lakukan investasi.

Teori konsumsi barang dan jasa terhadap pertumbuhan ekonomi

KOMPAS.com - Konsumsi barang dan jasa merupakan penentu fundamental dalam menetapkan kesejahteraan dan tingkat kemiskinan. Ini merupakan buah pemikiran Angus Deaton, ekonom kelahiran Inggris yang berhasil memperoleh penghargaan Nobel Ekonomi di 2015.
Profesor ekonomi dari Princeton University itu menabrak pendapat ekonom di masa sebelumnya yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi pada sisi produksi dan pendapatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Deaton mengubah paradigma konsumsi dan penghasilan dalam sistem ekonomi. 
Bersama dengan rekannya John Muellbauer, ekonom dari Universitas Oxford, Deaton menyusun sistem persamaan untuk memahami bagaimana keputusan konsumen berinteraksi dengan barang yang berbeda. 
"Deaton merupakan salah satu sedikit orang yang mengerti perilaku konsumsi dari waktu ke waktu," ujar Orazio Attanasio, ekonom di Unversity College London seperti dikutipFinancial Times.
Dalam pandangan Deaton, peran konsumsi sangat sentral pada perekonomian. Untuk mengukur tingkat resesi, kemiskinan dan kemakmuran, Deaton menggunakan prisma konsumsi.
Para tokoh ekonomi di tahun 1950-an seperti Milton Friedman dan Franco Modigliani menyebut perilaku konsumsi masyarakat bergantung kepada pendapatan. Jika penghasilan individu mampet, konsumen memilih menyisihkan duitnya sebagai tabungan. Dus, angka konsumsi bakal menciut.
Namun, Deaton melihatnya dari sudut pandang lain. Menurut dia, konsumsi bakal tetap mengalir jika harga produk terjangkau. Makanya, meski tanpa ada penambahan pendapatan, konsumsi masih bisa meningkat.
Ambil contoh, ketika pemerintah mengenakan pajak atas makanan, tentu saja harga menjadi mahal. Inilah yang mempengaruhi konsumsi. Jika konsumsi anjlok, warga miskin sulit memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Teori Deaton ini berlaku di Jepang. Ketika Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menaikkan pajak penjualan pada April 2013 lalu, konsumsi rumah tangga Jepang merosot. Bahkan, Jepang sulit memenuhi target inflasi sebesar 2 persen.
Baru-baru ini, Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga mempertimbangkan penurunan pajak untuk beberapa produk tertentu. Tujuannya tentu saja untuk membantu mengerek konsumsi masyarakat berpenghasilan bawah.
"Hal ini sangat alami bahwa pemerintah mengenalkan penurunan tarif pajak di tengah kenaikan pajak," kata Suga kepada Japan Times.
Bukan hanya Jepang, negara lain seperti China juga menguatkan konsumsi domestik demi pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena pendapatan ekspornya  menipis.
Indonesia bisa mengambil pelajaran dari teori Deaton ini. Pemerintah boleh saja menggenjot infrastruktur dan industrialisasi tetapi jangan lupa mendongkrak konsumsi masyarakat. Bisa saja ekonomi sulit tumbuh karena tergencet oleh penurunan daya beli.
Teori yang dibangun oleh Angus Deaton bisa membantu Pemerintah Indonesia menciptakan kebijakan untuk memompa konsumsi domestik sehingga dunia usaha dalam negeri masih bisa tumbuh di tengah kelesuan ekonomi global. 

Wednesday, October 14, 2015

Uang pas pasan,apa boleh ikut reksa dana

KOMPAS.com - Saat ini, semakin banyak masyarakat yang tertarik pada investasi reksa dana. Namun, sebagian dari mereka mungkin baru memulai kerja / usaha sehingga pendapatannya belum seberapa. Pertanyaannya, jika pendapatan masih pas-pasan, apakah boleh berinvestasi di reksa dana ?

Besar kecilnya pendapatan setiap bulan tidak menjadi syarat untuk berinvestasi di reksa dana. Sepanjang memiliki KTP dan tabungan di bank, dan modal investasi Rp 100.000 anda sudah bisa menjadi investor.

Iya, anda tidak salah baca. Sejak program reksa dana mikro diperkenalkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2014, minimum untuk berinvestasi di reksa dana adalah Rp 100.000. Seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak manajer investasi dan agen penjual yang menerapkan kebijakan tersebut.

Dengan syarat demikian, untuk menjadi investor memang tidak sulit. Cukup datang dengan dokumen lengkap ke kantor cabang manajer investasi dan agen penjual terdekat proses pembukaan rekening bisa segara dimulai. 

Dengan adanya layanan reksa dana online dan supermarket reksa dana, keberadaan kantor cabang secara fisik juga sudah tidak menjadi kendala. Cukup dengan mengakses via situs perusahaan, masyarakat dapat membuka rekening reksa dana secara online dan memilih reksa dana dari puluhan perusahaan sekaligus.

Kemudahan-kemudahan tersebut memang membuat proses menjadi investor semakin mudah. Namun, di satu sisi perlu disadari bahwa mudahnya syarat untuk menjadi investor reksa dana tidak menjadikan investasi reksa dana ini mudah.

Membeli reksa dana berarti melakukan investasi. Namanya investasi pasti selalu ada yang namanya risiko. Dalam bahasa yang lebih sederhana, risiko berarti mengalami penurunan nilai dibandingkan modal awal investasi. 

Penurunan tersebut bisa berupa penurunan di atas kertas atau kerugian yang belum terealisasi jika anda tidak panik menjualnya ketika risiko itu terjadi. Selama belum terealisasi, maka dalam jangka panjang ada kemungkinan harganya akan kembali naik dan kondisi investor bisa berbalik dari rugi menjadi untung.

Namun ketika risiko terjadi dan investor buru-buru menjualnya atau dikatakan melakukan cutloss, maka kemungkinan untuk berbalik sudah tidak ada. Kerugian yang tadinya masih di atas kertas akan berubah menjadi kerugian terealisasi. Tidak hanya itu, tujuan keuangan yang tadinya mau dicapai melalui reksa dana juga tidak terwujud.

Jadi, bagi calon investor dengan pendapatan pas-pasan pertanyaan yang lebih tepat bukanlah boleh atau tidak menjadi investor, tapi apakah yang bersangkutan sudah siap menghadapi risiko tersebut?

Siap atau tidak siap saat menghadapi risiko menurut saya sangat tergantung pada 2 hal. Pemahaman terhadap investasi dan kesehatan finansial.

Semakin paham terhadap investasi dan semakin sehat finansial seseorang kondisi keuangan seseorang, maka investor akan semakin siap dalam menghadapi risiko dan sebaliknya.

Pemahaman terhadap investasi dapat ditingkatkan melalui belajar. Saat ini sudah banyak tersedia buku-buku tentang investasi. Masyarakat juga bisa belajar melalui berbagai situs internet. 

Dengan memahami risiko dan berorientasi jangka panjang, maka penurunan dalam jangka pendek sudah bukan menjadi masalah besar. Toh uangnya baru dibutuhkan sekian tahun lagi. Bahkan penurunan bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk berinvestasi di harga yang lebih rendah.

Sumber-sumber tersebut memang ada yang berbayar, tapi banyak juga yang gratis. Contohnya situs kompas.com yang anda baca sekarang ini. Dengan teknologi informasi yang semakin berkembang, memahami reksa dana bukan lagi persoalan mampu atau tidak mampu, tapi mau atau tidak mau. Nah, yang agak jadi masalah adalah faktor kesehatan finansial.

Dalam kesehatan finansial, salah satu rasio yang sangat penting yaitu dana darurat. Dimana seseorang sebaiknya memiliki dana darurat antara 3 – 12 pengeluaran bulanannya. Tentu hal ini sangat berat bagi calon investor yang pendapatannya masih pas-pasan.

Jumlah uangnya tentu tidak cukup jika harus dibagi antara dana darurat dan investasi. Belum lagi kebutuhan akan perlindungan asuransi jiwa apabila yang bersangkutan menjadi tulang punggung keluarga.

Untuk itu, menurut saya investasi reksa dana tidak perlu terlalu dipaksakan. Malah akan lebih baik jika dana / tabungan yang ada diinvestasi pada pengembangan diri seperti kursus, kuliah lanjutan, mempelajari keahlian atau buka usaha yang nantinya akan memperbesar potensi pendapatan. Ketika kondisi pendapatannya sudah lebih baik, investasi reksa dana baru mulai dilakukan.

Bagi yang tidak memiliki tanggungan alias masih menumpang bersama keluarga, investasi reksa dana memang bisa dipertimbangkan. Namun yang lebih penting adalah tetap fokus pada pengembangan diri sehingga pendapatan yang tadinya pas-pasan berubah menjadi pas butuh pas ada. Ketika itu, baru lakukan investasi.

Monday, October 5, 2015

Reksa dana

KOMPAS.com - Ketika Anda belajar reksa dana dengan menggunakan buku literatur dari luar negeri, kebanyakan akan merekomendasikan untuk berinvestasi pada reksa dana indeks dibandingkan reksa dana konvensional. Seperti apa reksa dana indeks ini?

Reksa Dana Indeks, sesuai namanya adalah jenis reksa dana yang kinerjanya mengacu pada indeks tertentu, bisa indeks saham bisa juga indeks obligasi. Meski demikian, cara kerjanya berbeda dengan reksa dana konvensional yang berfokus pada  saham dan obligasi.

Cara Kerja Reksa Dana Konvensional
Cara kerja dari reksa dana adalah Anda mempercayakan dana kepada pihak ahli yang disebut Manajer Investasi. Selanjutnya mereka akan mengelola dana tersebut dengan berinvestasi pada saham dan obligasi. Umumnya tujuan utama dari pengelolaan tersebut adalah memberikan hasil di atas indeks acuan.

Dengan kata lain, misalkan jika investor berinvestasi pada reksa dana saham, maka target utama dari para manajer investasi adalah untuk memberikan hasil di atas kinerja IHSG. IHSG singkatan dari Indeks Harga Saham Gabungan, yang merupakan indeks yang merepresentasikan seluruh saham perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, jika IHSG dalam suatu periode menghasilkan kenaikan 15 persen, maka reksa dana saham ditargetkan memberikan lebih tinggi daripada hasil tersebut. Kalaupun IHSG mengalami kerugian seperti yang terjadi pada tahun 2015 ini, Manajer Investasi akan berusaha agar kerugian reksa dana saham yang dikelolanya bisa lebih kecil.

Cara kerja reksa dana pendapatan tetap yang berinvestasi di obligasi juga demikian. Manajer Investasi akan berusaha keras agar hasil investasinya di atas indeks obligasi. Dalam bahasa pasar modal, IHSG ataupun Indeks Obligasi yang dijadikan sebagai pembanding ini disebut juga denganBenchmark.

Pengelolaan reksa dana dengan target mengalahkan benchmark dikenal juga dengan strategi pengelolaan aktif atau active management strategy. Keberhasilan dalam mengalahkan benchmark secara konsisten inilah yang membedakan manajer investasi yang satu dengan yang lain. Sebab, ada yang berhasil, ada juga yang tidak.

Untuk bisa mengalahkan benchmark, salah satu cara yang sering digunakan adalah melakukan analisa terhadap semua saham yang terdapat dalam IHSG. Kemudian dari seluruh daftar tersebut, manajer investasi hanya menempatkan dana pada saham yang dianggap berpotensi memberikan hasil lebih tinggi. 

Ketika IHSG naik, belum tentu semua saham di dalamnya ikut naik. Ada yang naik dengan persentase yang sama, ada yang lebih tinggi dan lebih rendah, ada juga yang malahan turun. Manajer Investasi yang handal adalah mereka yang mampu memperkirakan saham dengan persentase kenaikan yang lebih tinggi sehingga hasil reksa dananya juga lebih baik.

Cara Kerja Reksa Dana Indeks
Berbeda dengan reksa dana konvensional yang berusaha mengalahkan benchmark,target dari reksa dana indeks adalah menyamainya. Jadi daripada dikelola secara aktif, pendekatan dari reksa dana indeks adalah secara pasif dengan menyusun portofolio investasi menyerupai indeks acuannya. 

Karena komposisinya mirip atau bahkan persis dengan indeks acuan, maka hasilnya juga tentunya akan mirip dengan indeks acuannya. Cara ini dikenal pula denganpassive management strategy.

Pengelolaan secara pasif menghasilkan efisiensi biaya karena manajer investasi tidak memerlukan tenaga analis yang banyak untuk analisa perusahaan. Kemudian biaya transaksi juga menjadi lebih kecil karena manajer investasi tidak melakukan trading jual beli secara aktif. Oleh karena itu, biaya reksa dana indeks umumnya lebih kecil dibandingkan reksa dana konvensional.

Baik buruknya kinerja reksa dana ini tidak diukur dari seberapa besar return yang dihasilkan ataupun dari seberapa kecil risiko fluktuasi harga tapi dari selisih antara kinerja reksa dana dengan indeks acuan. Semakin besar selisihnya, meskipun kinerja reksa dana lebih baik, tetap dianggap tidak baik karena yang ideal adalah sama dengan indeks acuannya. Selisih antara reksa dana dengan indeks acuan disebut juga tracking error.

Asal Mula Reksa Dana Indeks
Reksa dana indeks berawal pada tahun 1951, ketika itu seorang lulusan Princeton University bernama John Bogle membuat tesis dengan judul "Mutual Funds can make no claims to superiority over the Market Averages." Dalam penelitian ini, dia menemukan bahwa ternyata kebanyakan reksa dana yang dikelola secara aktif di Amerika ternyata tidak mampu mengalahkan hasil investasi pasar (benchmark). Tulisan inilah kemudian menjadi cikal bakal lahirnya reksa dana indeks atau Index Fund dan Exchange Traded Fund

Referensi: Mengenal Exchange Traded Fund 

John Bogle sendiri mendirikan perusahaan manajer investasi dengan nama Vanguard pada tahun 1974 dan pensiun pada tahun 1999. Perusahaan ini terus bertumbuh dan menawarkan ragam jasa keuangan selain reksa dana. Pada Maret 2015, Vanguard Group telah berkembang menjadi perusahaan jasa finansial terbesar di dunia dengan dana kelolaan sekitar 3 triliun dollar AS atau sekitar Rp 43.500 triliun dengan kurs saat ini (sumber: wikipedia).

Perkembangan Reksa Dana Indeks di Indonesia
Di Indonesia, saat ini memang sudah terdapat beberapa reksa dana indeks saham dan indeks obligasi. Meski demikian perkembangan reksa dana indeks masih kalah jauh dibandingkan reksa dana konvensional. 

Hal ini wajar karena bahkan di negara asalnya, ide untuk berinvestasi di reksa dana indeks membutuhkan waktu puluhan tahun agar bisa diterima oleh masyarakat di sana. Sementara tingkat pemahaman masyarakat terhadap produk reksa dana masih sangat kurang. Faktor lain yang menghambat pertumbuhan reksa dana indeks adalah masih adanya reksa dana dengan kinerja yang lebih baik dibandingkan indeks acuan.